Yang Terakhir Masuk Surga

Kisah Hikmah Islami
Yang Terakhir Masuk Surga
Pada hari kiamat kelak, ketika semua manusia telah selesai dihisab dan memasuki tempatnya masing-masing, di surga atau di neraka, Allah berkehendak untuk menyelamatkan para penghuni neraka yang “pernah” menyembah Allah, walau hanya sesaat. Allah memerintahkan beberapa malaikat “menjelajah” neraka untuk menemukan mereka itu, yakni mereka yang masih tampak tersisa bekas-bekas sujud yang tidak terbakar api neraka. Dari bekas sujud yang tampak cukup besar dan sangat jelas, atau yang terlihat sangat kecil dan samar-samar.

Ketika mereka semua itu ditemukan dan diangkat dari neraka, keadaan tubuhnya hitam terbakar seperti arang. Kemudian dituangkan kepada mereka ma’ul khayaah (air kehidupan), dan mereka tumbuh bagaikan tumbuhnya bibit tumbuhan di tanah bekas banjir, dalam keadaan segar dan sebaik-baiknya penampilan. Sekali lagi Allah “memasang” mizan (timbangan amal), dan sebagian besar dari mereka dipersilahkan memasuki surga karena keburukan dan kejahatannya telah habis setelah “dicuci” di neraka. Tetapi tertinggal satu orang di antara surga dan neraka, walaupun keburukannya telah habis terbakar di neraka, tetapi sisa kebaikannya tidak cukup memberatkan mizan untuk bisa mengantarkannya ke surga.

Dia itulah orang terakhir yang akan masuk surga, karena kasih sayang dan rahmat Allah. Tetapi tampaknya Allah tidak akan membiarkannya begitu saja memasuki surga tanpa “mencandainya” terlebih dahulu, sebagai bentuk kasih sayang-Nya. Sekaligus memaksimalkan kegembiraannya ketika nantinya masuk surga.

Allah menghadapkan wajahnya ke arah neraka. Setelah beberapa waktu lamanya, ia berdoa, “Wahai Tuhanku, palingkanlah wajahku dari neraka ini, baunya amat menyakitkan diriku, dan panasnya bisa membakarku!!”

Allah berfirman kepadanya, “Apabila permintaanmu itu Aku kabulkan, apakah engkau akan meminta lagi kepada-Ku?”

Orang itu berkata, “Tidak, ya Allah, demi kemuliaan-Mu!!”

Kemudian Allah membuat “semacam” perjanjian dengannya untuk tidak meminta lagi, dan Allah memalingkan wajahnya dari neraka ke arah surga. Ia bersyukur telah dihindarkan dari pemandangan neraka dan melihat pemandangan surga. Tetapi namanya manusia yang masih memiliki nafsu, walau saat itu telah menjadi nafsu yang diridhoi Allah dan nafsu yang ridho kepada Allah (rodhiyallahu ‘anhum wa rodhuu ‘anhu / an-nafsul muthma-innah…roodhiyatan mardhiyyah), melihat pemandangan yang begitu indah hanya dari kejauhan, bangkit keinginannya untuk melihat lebih dekat. Tetapi ia “terhalang” dengan perjanjian yang telanjur disetujuinya dengan Allah, karena itu ia hanya diam.

Beberapa saatnya ia diam, tetapi pergolakan hati dan nafsunya untuk lebih dekat kepada surga tidak pernah “diam”. Tampaknya ia tidak tahan lagi untuk meminta (berdoa) walau telah berjanji untuk tidak meminta. Ia menyadari, tidak Dzat yang paling sabar, paling memaafkan, yang tidak pernah jemu untuk mengabulkan walau tidak pernah mematuhi dan selalu melanggar larangan-Nya, kecuali Allah SWT. Bahkan keberadaannya saat itu tidak lepas sifat-sifat Rahman dan Rahim Allah itu. Kalau bukan Allah yang mengadilinya saat itu, pantasnya ia tetap berada di neraka selama-lamanya.

Ia memberanikan diri untuk berdoa (meminta) lagi, “Wahai Tuhanku, bawalah aku ke dekat pintu surga!!”

Allah berfirman, “Bukankah engkau telah berjanji untuk tidak meminta lagi, selain yang telah engkau minta sebelumnya?”

Ia berkata memelas, “Wahai Tuhanku, jangan hendaknya Engkau jadikan aku mahluk-Mu yang paling malang!!”

Allah berfirman kepadanya, “Apabila permintaanmu itu Aku kabulkan, apakah engkau akan meminta lagi kepada-Ku?”

Orang itu berkata, “Tidak, ya Allah, demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan meminta yang lain lagi!!”

Kemudian Allah membuat “semacam” perjanjian lagi dengannya untuk tidak meminta yang lainnya lagi dan Allah mendekatkannya ke pintu surga.Ia sangat gembira dengan tempatnya tersebut. Keindahan surga, bunga-bunganya, kemewahan-kemewahannya, gemerlap-gemerlapnya, kesenangan-kesenangannya, bidadari-bidadarinya dan berbagai macam kenikmatan yang tidak pernah terbayangkan olehnya terpampang di depan matanya tanpa halangan.

Setelah beberapa waktu lamanya menikmati pemandangan surga yang penuh kenikmatan itu, lagi-lagi nafsu manusianya tergerak untuk bisa memasuki surga, tidak sekedar berdiri di pintunya seperti saat itu. Tetapi teringat akan janji yang telah diberikannya kepada Allah ia jadi terdiam. Pergolakan nafsu dan hatinya makin menggelora, dan hal itu memang digerakkan oleh Allah, karena itu ia “nekad” untuk melanggar janjinya dan berkata, “Wahai Tuhanku, masukkanlah aku ke dalam surga!!”

Allah berfirman kepadanya, “Sayang sekali, wahai anak Adam,alangkah khianatnya dirimu! Bukankah engkau telah berjanji untuk tidak meminta sesuatu lagi selain permintaanmu sebelumnya!!”

Lagi-lagi ia berkata memelas, “Wahai Tuhanku, jangan hendaknya Engkau jadikan aku mahluk-Mu yang paling celaka!!”

Allah tertawa mendengar pernyataannya tersebut dan mengijinkannya memasuki surga. Baru beberapa langkah di surga, Allah berfirman, “Mintalah segala apa yang kamu inginkan!!”

Tentu saja orang tersebut sangat gembira mendengar perintah Allah tersebut. Ia menyebutkan daftar permintaan dari semua apa yang dilihatnya tersebut, termasuk beberapa hal yang terlintas di pikirannya. Setelah ia kehabisan “data” permintaannya dan berhenti berbicara, Allah berfirman kepadanya, “Mintalah tambahannya ini dan itu…!!”

Allah menyebutkan sesuatu yang belum masuk dalam permintaannya, dan ia segera memohon untuk diberikan tambahan seperti itu. Beberapa kali Allah mengingatkan beberapa hal dan kenikmatan kepadanya, dan ia memohon untuk bisa diberikan tambahan seperti itu. Akhirnya Allah berfirman kepadanya, “Apakah engkau telah puas?”

“Saya telah puas, ya Allah!!” Katanya.

Dan Allah SWT menetapkan untuknya, “Bagimu, apa yang telah engkau minta itu semuanya, dan tambahannya sebanyak itu pula (artinya dilipatkan dua kali dari daftar permintaannya).”

Dalam riwayat lainnya disebutkan, Allah berfirman kepadanya, “Bagimu, apa yang telah engkau minta itu semuanya, dan dilipat-gandakan sepuluh kalinya!!”

Khidr As Muncul Karena Ketulusan (2)

Kisah Hikmah Islami
Khidr As Muncul Karena Ketulusan (2)
Seorang lelaki berniat untuk terjun ke dunia rohani (dunia sufi). Ia mendatangi banyak tempat dimana diadakan pengajian tentang kesufian, membaca banyak kitab-kitab yang berkaitan itu. Telah banyak ucapan-ucapan para guru sufi yang telah didengarnya, banyak pula sikap dan perbuatan yang dilihat dan dipraktekkannya dengan bimbingan para guru itu. Dengan senang hati pula ia melakukan berbagai latihan spiritual dan perintah-perintah peribadatan yang ketat dan keras.

Entah berapa tahun, atau berapa belas tahun yang telah dilaluinya, berkecipung di dunia tasauf. Ia merasa telah banyak memperoleh kemajuan dalam beribadah, tidak sekedar praktek lahiriahnya, tetapi juga rahasia-rahasia rohaniahnya. Namun demikian ia masih bingung, tingkatan apa yang telah dicapainya? Sejauh dan sedalam apa ia telah menempuh dunia rohaniah itu? Kapankah dan dimanakah pencariannya akan berakhir?

Suatu ketika ia berjalan sambil merenungi (muhasabah) dirinya sendiri, segala perbuatan dan tingkah lakunya, mana yang sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya dan mana yang hanya kepura-puraannya semata? Mana yang ia tulus melakukannya, mana pula yang hanya ambisi egonya? Tanpa disadarinya, langkahnya sampai di depan rumah seorang manusia arif (tokoh sufi) yang telah terkenal kebijaksanaannya. Dan, tanpa disadarinya pula, ia berdiri di samping seorang tua, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Khidr AS. Tentu saja ia gembira tidak terkira karena Khidr telah terkenal di kalangan kaum sufi sebagai “Penunjuk jalan rahasia ke arah jalan kebenaran”

Nabi Khidr membawanya ke suatu tempat, di mana ia menyaksikan orang-orang yang tampak sangat berduka dan sengsara. Kepada mereka ini, lelaki itu berkata, “Siapakah kalian ini sebenarnya?”

Salah seorang dari mereka berkata, “Kami adalah orang-orang yang tidak mengikuti ajaran-ajaran yang sejati, kami tidak setia (tidak istiqomah) dengan tugas yang dibebankan kepada kami. Dan kami hanya memuliakan guru-guru yang kami angkat sendiri!!”

Kemudian Nabi Khidr membawanya ke tempat lainnya, di mana ia menyaksikan orang-orang yang wajahnya berseri-seri dan tampak berbahagia. Kepada mereka ini, lelaki itu berkata, “Siapakah kalian ini?”

Salah seorang dari mereka berkata, “Kami adalah manusia-manusia yang tidak menuruti petunjuk-petunjuk jalan kebenaran yang sebenarnya!!”

Tentu saja lelaki itu heran dengan jawaban tersebut, ia berkata, “Kalau memang kalian tidak mengikuti petunjuk-petunjuk itu, bagaimana kalian bisa tampak sangat berbahagia?”

Mereka berkata, “Karena kami lebih memilih kebahagiaan daripada kebenaran. Seperti halnya orang-orang yang memilih guru-guru mereka sendiri, sebenarnya kami memilih jalan kesengsaraan (penyesalan) pula!!”

“Bukankah kebahagiaan itu adalah cita-cita tertinggi dari umat manusia?” Lelaki itu masih tampak tak percaya yang yang dilihatnya, tentunya didasari dengan yang telah diyakininya selama ini.

“Tujuan utama dari umat manusia adalah kebenaran, dan kebenaran itu bukanlah kebahagiaan, ia jauh lebih utama dari kebahagiaan. Seseorang yang telah mencapai kebenaran, dapat memiliki perasaan-perasaan apapun yang diinginkannya, atau membuang semua perasaan-perasaan itu tanpa beban…!!”

Lelaki itu tampak mulai memahami, dan mereka melanjutkan penjelasannya, “Kami telah berpura-pura bahwa kebenaran itu adalah kebahagiaan, dan kebahagiaan itu adalah kebenaran. Banyak sekali orang yang percaya kepada kami, termasuk engkau sendiri mungkin beranggapan demikian. Tetapi percayalah, kebahagiaan itu akan memenjarakan dirimu sebagaimana yang dilakukan oleh kesengsaraan!!”

Setelah pemahaman itu makin meresap ke dalam hatinya, tiba-tiba saja ia telah ada di depan rumah manusia arif seperti sebelumnya, dan Khidr masih berada di sisinya. Khidr berkata, “Aku akan mengabulkan sebuah permintaanmu!!”

Lelaki itu berkata, “Aku ingin tahu mengapa aku telah gagal dalam pencarianku, dan bagaimana aku dapat berhasil?”

Khidr berkata, “Engkau telah menyia-nyiakan hidupmu, karena engkau manusia pembohong. Engkau hanya mencari kepuasan pribadi (ego dan prestise), walau sebenarnya engkau bisa mencari kebenaran!!”

“Namun aku sedang mencari kebenaran itu ketika aku bertemu denganmu, dan hal itu tidak terjadi pada setiap orang!!” Katanya, masih mnecoba membela diri.

“Benar,” Kata Khidr, “Ketulusan hatimu yang cukup besar untuk mencari kebenaran demi kebenran itu sendiri, walau hanya sesaat saja, yang menyebabkan aku datang untuk menemuimu!!”

Mendengar penuturan Khidr itu, ia merasakan kegairahan yang menggelora untuk masuk ke dalam kebenaran dengan segenap ketulusan hatinya. Ia tampak tak perduli walau ia akan tenggelam dalam samudra kebenaran yang tidak berujung itu.

Ketika Khidr beranjak pergi, ia berusaha mengejarnya tetapi Khidr berkata, “Jangan ikuti aku! Aku akan kembali ke dunia yang penuh tipuan, karena di sanalah seharusnya aku berada untuk melaksanakan tugasku!!”

Begitu Khidr lenyap dari pandangan, ia tidak lagi berada di halaman rumah manusia arif seperti sebelumnya, tetapi ia telah berada di negeri kebenaran.

Pahala Dari Setiap Yang Bernyawa

Kisah Hikmah Islami
Pahala Dari Setiap Yang Bernyawa
Seseorang sedang berjalan-jalan, dan ketika ia merasa kehausan, ia turun ke suatu sumur yang tidak jauh dari situ. Setelah hausnya hilang, ia segera naik lagi dan ia melihat seekor anjing yang lidahnya terjulur ke tanah karena hausnya. Ia berkata dalam hati, “Anjing ini kehausan seperti aku tadi!!”

Ia turun lagi ke dalam sumur, ia menciduk air dengan sepatunya dan membawanya ke atas dengan menggigitnya. Sampai di atas, ia memberi minum anjing tersebut dengan air di dalam sepatunya itu.

Rasulullah SAW yang menceritakan kisah tersebut bersabda, “Allah SWT berterima kasih kepada lelaki itu dan mengampuni dosa-dosanya!!”

Salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, memangnya kita bisa memperoleh pahala sehubungan dengan binatang?”

Beliau bersabda, “Pada setiap yang berjantung lagi hidup ada pahala!!”

Pada riwayat lain yang hampir senada, Nabi SAW menceritakan bahwa seorang wanita pelacur melihat seekor anjing yang terengah-engah dan lidahnya terjulur, tampaknya ia hampir mati kehausan. Pelacur itu melepas sepatunya dan diikatkan pada kain kerudungnya untuk menimba air dari sumur yang tidak jauh dari situ. Setelah itu ia memberi minum anjing itu sehingga ia segar kembali.

Nabi SAW menyatakan bahwa Allah mengampuni dosa-dosa wanita pelacur itu karena keperdulian dan sikap kasih sayangnya memberi minum pada anjing yang kehausan. Dan ia juga memperoleh hidayah sehingga meninggalkan perbuatan maksiatnya dan bertaubat kepada Allah.

Empat Malaikat Ketika Sakit

Kisah Hikmah Islami
Empat Malaikat Ketika Sakit
Ketika Allah SWT telah menetapkan seorang hamba-Nya yang beriman, baik itu laki-laki atau perempuan, akan mengalami sakit, maka Dia akan mengirimkan empat malaikat kepada orang itu. Malaikat pertama diperintahkan untuk mengambil kekuatannya, maka orang itu menjadi lemah tidak seperti biasanya. Malaikat kedua diperintahkan untuk mengambil selera makannya dari mulutnya, maka ia jadi enggan makan walau terkadang merasa lapar. Malaikat ketiga diperintahkan untuk mengambil kecerahan wajahnya, maka orang-orang di sekitarnya akan melihat bahwa ia sangat pucat. Dan malaikat keempat diperintahkan untuk mengambil dosa-dosanya, maka ia terbebas dari dosa, kecuali dosa yang berhubungan dengan hak-hak manusia.

Ketika Allah SWT menghendaki hamba beriman itu sehat kembali, maka Allah memerintahkan malaikat pertama untuk mengembalikan kekuatannya, dan ia akan berangsur kuat kembali. Malaikat kedua diperintahkan untuk mengembalikan selera makannya, maka ia akan senang makan dan itu membantu memulihkan kesehatannya. Malaikat ketiga diperintahkan untuk mengembalikan kecerahan wajahnya, maka kepucatan wajahnya berangsur menghilang dan kembali cerah seperti sediakala.

Tiga malaikat itu telah selesai melaksanakan tugasnya dan tidak lagi “membawa” beban apapun, tinggal malaikat keempat yang menunggu perintah Allah turun kepadanya sehingga ia tidak harus “membawa” seperti ketiga malaikat temannya itu. Tetapi perintah itu tidak datang-datang juga, karena itu ia memberanikan diri bertanya kepada Allah, “Wahai Allah, kami berempat adalah hamba-hamba-Mu yang patuh kepada perintah-Mu. Mereka bertiga telah Engkau perintahkan untuk mengembalikan apa yang mereka ambil, mengapa tidak engkau perintahkan aku untuk mengembalikan apa yang aku ambil dari hamba-Mu itu?”

Allah SWT berfirman, “Kemuliaan yang Aku miliki tak pantas membuat-Ku menyuruhmu untuk mengembalikan dosa-dosanya, setelah aku membuatnya kepayahan karena sakit yang dialaminya!!”

Malaikat keempat berkata, “Lalu apa yang harus aku lakukan dengan dosa-dosanya ini, Ya Allah??”

Allah berfirman, “Pergilah engkau ke laut dan buanglah dosa-dosanya di sana!!”

Malaikat keempat segera turun ke laut dan membuangnya di sana, dan ia terbebas dari beban sebagaimana ketiga malaikat temannya. Kemudian dari dosa-dosa yang dibuang tersebut Allah menciptakan buaya laut, Wallahu A’lam.

Kalau dalam sakitnya itu sang hamba mukmin meninggal, maka ia akan pergi menuju akhirat dalam keadaan suci, tanpa membawa dosa-dosanya. Tentulah dikecualikan dosa-dosa yang berhubungan dengan hak-hak anak Adam lainnya. Hal ini mungkin salah satu penjabaran dari sabda Nabi SAW, “Sakit panas sehari semalam adalah pelebur dosa setahun!!”

Dalam riwayat lainnya Nabi SAW menjelaskan, bahwa ketika seorang hamba mukmin sakit dan ia tidak bisa mengerjakan amalan-amalan istiqomah yang biasa dilakukan waktu sehat, maka Allah SWT memerintahkan malaikat mencatat pahala dari amal-amal kebaikan tersebut untuknya, walau ia tidak bisa mengerjakannya karena sakit yang dideritanya itu.

Tentulah semua itu bisa terjadi jika sang hamba mukmin tersebut sabar dan ridho dengan kehendak Allah kepadanya. Bukan justru “mengadukan/memprotes” Allah (yang menghendakinya sakit) kepada pengunjung-pengunjung yang menjenguknya.

Dalam keadaan sakit tersebut, seharusnyalah seorang hamba melakukan ikhtiar untuk berobat atau ke dokter, tetapi tidak boleh meyakini bahwa obat atau dokter tersebut yang menyembuhkan penyakitnya. Kalau keyakinan seperti itu tertanam, bisa-bisa ia terjatuh pada kesyirikan yang samar (syiri’ khofi), karena sesungguhnyalah hanya Allah yang berkehendak menyembuhkan, sebagaimana hanya Dia pula yang menghendakinya menjadi sakit.

Maka ikhtiar itu ada batasnya, setelah itu harus tawakal kepada Allah tentang hasilnya, yang mana tawakal tersebut tidak ada batasnya. Jangan sampai kita “terjebak” dengan pameo “berusaha/ikhtiar tanpa batas” dan tidak pernah sempat untuk tawakal. Apa jadinya kalau kita meninggal dalam keadaan ikhtiar, sementara kita belum pernah atau belum sempat tawakal kepada Allah?

Karena Melawan Nasehat Ibunya

Kisah Hikmah Islami
Karena Melawan Nasehat Ibunya
Seorang lelaki bernama Awwam bin Husyaib baru saja pindah ke rumah di dekat suatu pemakaman. Pada waktu ashar, tiba-tiba dilihatnya dari salah kuburan muncul asap berwujud seorang lelaki berkepala keledai, dan mengeluarkan suara dengkingan (suara keledai) sebanyak tiga kali. Kemudian wujud asap itu masuk kembali ke dalam kubur. Tidak jauh dari kuburan tersebut, ada seorang wanita yang sedang memintal benang bulu.

Ibnu Husyaib begitu keheranan melihat pemandangan itu. Seorang wanita tetangganya yang melihat ekspresi keheranannya berkata, “Tahukah engkau wanita tua yang memintal benang bulu itu?”

Tetangganya itu menunjukkan tempatnya. Ibnu Husyaib berkata, “Siapakah dia?”

“Dia adalah ibu dari lelaki yang kuburannya berasap dan mengeluarkan suara itu!!”

“Bagaimana ceritanya hingga bisa seperti itu?” Tanya Ibnu Husyaib.

Wanita itu kemudian bercerita, bahwa anak lelakinya itu sangat suka minum khamr. Suatu ketika sang ibu berkata kepadanya, “Wahai anakku, takutlah kamu kepada Allah. Sampai kapankah engkau akan minum khamr??”

Anak yang memang sedang dirasuki khamr sehingga akalnya tidak genap itu berkata kepada ibunya, “Engkau medengking saja seperti keledai!!”

Ternyata setelah ashar di hari itu, anak lelakinya itu meninggal. Dan setiap ashar kuburannya mengeluarkan asap berwujud dirinya yang berkepala keledai, dan mendengking tiga kali layaknya seekor keledai.

Sungguh Allah Lebih Gembira

Kisah Hikmah Islami
Sungguh Allah Lebih Gembira
Ada seseorang akan bepergian melewati padang pasir yang luas. Ia telah mempersiapkan perbekalannya, baik makanan ataupun minuman selama perjalanan itu pada onta, yang juga jadi kendaraannya. Di tengah padang pasir yang begitu panasnya, ia ingin beristirahat di bawah suatu pohon. Tetapi begitu ia turun, ontanya tersebut lepas dan melarikan diri entah kemana. Tidak bisa dibayangkan bagaimana kesedihannya, apalagi semua perbekalannya ikut hilang.

Orang itu mencoba mengikuti jejak-jejak ontanya dengan harapan akan menemukannya kembali. Tetapi tidak begitu lama mengarungi padang pasir yang seolah tanpa batas itu, ia jatuh terduduk, lelah, lapar dan haus segera saja menyergapnya sehingga ia tidak mampu meneruskan langkahnya. Ia berteduh di bawah sebuah pohon dan tertidur di sana.

Entah berapa lama ia tertidur, ketika terbangun tiba-tiba dilihatnya ontanya tersebut duduk menderum di bawah pohon itu juga, masih lengkap dengan perbekalannya, tidak berkurang sedikitpun. Tidak terkira kegembiraannya melihat ontanya itu, begitu gembiranya sehingga ia salah dalam mengucap rasa syukurnya, “Allahumma anta ‘abdii, wa ana rabbuka” (Wahai Allah, Engkaulah hambaku, dan saya adalah rabb-Mu).

Padahal maksudnya ia ingin berkata : Allahumma anta rabbi wa ana ‘abduka. Kegembiraan yang begitu memuncak membuat ia salah tanpa menyadarinya dan lisannya “keseleo” mengucapkan perkataan itu.

Ia segera memeluk ontanya dan segera mengambil makanan dan minuman untuk mengobati perutnya yang telah sangat perih minta diisi.

Nabi SAW yang menceritakan kisah perumpamaan tersebut, bersabda kepada para sahabat, “Sungguh Allah lebih gembira untuk menerima taubat hamba-Nya, daripada kegembiraan orang tersebut yang menemukan kembali ontanya yang telah hilang di tengah-tengah padang sahara…!!”

Karena Doa Seorang Peminta-Minta

Kisah Hikmah Islami
Karena Doa Seorang Peminta-Minta
Dalf bin Jahdar Asy-Syibli, nama kunyahnya Abu Bakar, sehingga lebih dikenal dengan nama Abu Bakar Asy-Syibli, adalah seorang ulama sufi yang lahir dan dibesarkan di Baghdad. Ia bersahabat dengan ulama sufi lainnya yang sangat terkenal, Junaid al Baghdadi. Suatu ketika ia sedang berjalan ke suatu desa, dan ia melihat seorang pemuda kurus dengan rambut terurai dan bajunya sangat kumal. Pemuda itu sedang duduk di antara kubur dan meletakkan pipinya di tanah, air matanya mengalir membasahi wajahnya, mulutnya terus bergerak mengucap dzikr. Tasbih, tahmid, tahlil dan istighfar tak henti-hentinya keluar dari mulutnya. Sesekali ia memandang ke langit.

Syibli sangat tertarik dengan pemuda tersebut karena itu ia menghampirinya, tetapi melihat kedatangannya, sang pemuda lari menghindar. Syibli berusaha mengejarnya, tetapi karena tertinggal terus, ia berkata, “Perlahan-lahan, wahai waliyullah!!”

Sang pemuda hanya berkata, “Allah”

Syibli berkata lagi, “Demi Allah, sabarlah engkau menantiku!!”

Sang pemuda hanya mengisyarakan penolakan dengan tangannya, sambil berkata, “Allah”

Putus asa untuk menghentikan pemuda itu, Asy-Syibli berkata, “Jika benar apa yang engkau katakan, maka tunjukkan kepadaku kesungguhanmu kepada Allah!!”

Mendengar ucapan Syibli itu, sang pemuda berteriak keras, “Allah!!”

Kemudian ia jatuh tersungkur. Ketika Syibli sampai di tempatnya, ia memeriksa pemuda tersebut dan ternyata ia telah meninggal. Syibli menjadi bingung sekaligus heran, begitu besar tekadnya kepada Allah, sehingga untuk membuktikan sebagaimana permintaannya, Allah harus mengambil nyawanya. Ada sedikit perasaan bersalah, sekaligus kekaguman, karena itu ia berkata, “Yakhtahshu bi rahmatihii man yasyaa’u, walaa haula walaaquwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim…”

Syibli pergi sebentar untuk mencari kafan dan segala keperluan untuk memakamkan pemuda tersebut. Setelah kembali ia tidak menemukan jenazahnya, bahkan tidak ada bekas-bekasnya. Sekali lagi ia bingung dan bertanya-tanya, siapakah yang mendahuluinya mengurus jenazahnya, padahal ia tidak lama meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba ia mendengar hatif (suara tanpa wujud), “Ya Syibli, telah ada yang menyelesaikan urusannya. Jenazahnya telah dirawat malaikat. Hendaklah engkau banyak beribadah kepada Allah dan bersedekah. Pemuda itu tidak sampai kepada kedudukannya seperti itu, kecuali karena suatu sedekahnya di suatu hari…”

“Beritahukanlah kepadaku, apakah sedekahnya itu?” Kata Syibli.

“Ya Syibli, pemuda itu sebelumnya seorang yang fasik, suka berzina, durhaka dan gemar bermaksiat kepada Allah. Suatu malam ia bermimpi kemaluannya menjadi ular dan mengeluarkan api dari mulutnya. Ia disembur dengan api itu sehingga tubuhnya menjadi hitam seperti arang. Setelah terbangun, ia gelisah dan ketakutan, kemudian menyingkir dari orang-orang sekitarnya untuk bertobat dan khusyu’ beribadah. Ia tetap dalam keadaannya itu selama duabelas tahun, hingga kemarin ia kedatangan seorang peminta-minta yang meminta makanan. Karena tidak memiliki apa-apa lagi, ia melepas baju yang dipakainya, dan memberikannya kepada sang peminta-minta. Karena begitu gembiranya, ia mendoakan sang pemuda agar dosa-dosanya diampuni oleh Allah, dan Allah mengabulkannya. Karena itulah pemuda itu memperoleh kemuliaan (karamah) seperti yang engkau lihat…!!”

Kesusahan Yang Bukan Kesusahan

Kisah Hikmah Islami
Kesusahan Yang Bukan Kesusahan
Suatu ketika Ali bin Abi Thalib, yang saat itu menjabat sebagai khalifah, bertemu dengan sahabat Salman al Farisi. Ali menyapanya, “Apa kabar dirimu, wahai Salman?”

Salman berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saya sedang dilanda empat kesusahan!!”

“Kesusahan apa?” Tanya Ali.

Salman menjelaskan, “Kesusahan keluarga karena membutuhkan roti (makanan pokok), kesusahan karena perintah Allah untuk menjalankan taat, kesusahan karena godaan syetan yang selalu mengajak maksiat, dan kesusahan karena akan datangnya malaikat maut untuk mencabut nyawaku!!”

Reaksi yang diberikan Ali sungguh mengejutkan, “Bergembiralah wahai Abu Abdillah, pada setiap keadaan itu, engkau memiliki derajad (kedudukan utama) di sisi Allah”

Tentu saja Salman kebingungan melihat reaksi sahabat dan menantu Rasulullah SAW itu. Kemudian Ali menceritakan, bahwa ketika Nabi SAW masih hidup, suatu pagi ia bertemu dengan beliau dan beliau bersabda, “Bagaimana pagimu, ya Ali?”

“Wahai Rasulullah,” Kata Ali, “Saya berada dalam kesedihan karena empat hal. Saya tidak memiliki apapun (untuk makan) kecuali hanya air, saya sedih dalam melaksanakan ketaatan kepada Allah (apakah akan diterima?), saya sedih tentang balasan amal (apakah lebih banyak kebaikannya?), dan saya sedih akan datangnya malaikat maut (apakah akan khusnul khotimah?).”

Mendengar jawaban Ali tersebut, dengan tersenyum Nabi SAW bersabda, “Bergembiralah wahai Ali, sesungguhnya kesedihan atas keluarga adalah tabir dari neraka, dan kesedihan dalam taat kepada Allah al Khaliq adalah (kunci) keamananmu dari azab, kesedihan atas balasan amal adalah jihad, yang hal itu lebih baik daripada ibadah selama 60 tahun, dan kesedihanmu atas malaikat maut adalah kafarat (pelebur, penebus) dari dosa-dosamu. Ketahuilah, wahai Ali, rezeki Allah kepada hamba-Nya itu tidak karena kesedihan itu. Kesedihan tidak berpengaruh apa-apa (atas pembagian rezeki dari Allah) kecuali semakin menambah pahala. Jadilah orang yang bersyukur dan tawakal, niscaya engkau akan menjadi kekasih Allah!!”

Ali bertanya, “Dengan apa (atas apa)saya bersyukur kepada Allah?

“Dengan Islam!!”

“Dengan apa saya taat?” Tanya Ali lagi.

“Ucapkanlah : Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim…!!”

Ali bertanya lagi, “Apa yang harus saya tinggalkan?”

Nabi SAW bersabda lagi, “Tinggalkanlah kemarahan, karena hal itu akan menghilangkan amarah Tuhanmu, memberatkan timbangan amal (kebaikan) dan membawamu ke surga!!”

Mendengar penjelasan Ali tersebut, Salman berkata, “Sungguh saya benar-benar susah memikirkan hal itu, terutama tentang keluarga!!”

Tentu, maksud Salman bukanlah perasaan sedih atau susah karena menyesali keadaannya. Tetapi kesedihan dalam rangka mengharap berbagai kebaikan seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW tersebut. Menjalani hidup dalam kesedihan/kesusahan dengan ikhlas untuk menggapai kegembiraan di akhirat kelak.

Menanggapi ucapan Salman tersebut, Ali berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah bersabda : Barang siapa yang tidak pernah bersedih atas keluarganya, ia tidak berhak mendapat surga!!”

Salman menyahuti, “Bukankah Rasulullah SAW juga bersabda : Orang yang memiliki keluarga tidak akan bahagia selamanya??”

“Bukan seperti itu (maksudnya), Salman,” Kata Ali, “Jika pekerjaanmu halal, maka surga akan selalu merindukan orang-orang yang bersedih dan nestapa dalam mencari rezeki yang halal, demi untuk menghidupi keluarganya!!”

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai